Senin, 08 Juni 2009

Potret Indonesia 63 Tahun

Potret Indonesia 63 Tahun
23 Problematika Ironis Menghiasi Negeriku!

Oleh : Hadi Triswanto

“Kalau cinta sudah dibuang Jangan harap keadilan akan datang Ternyata kita harus turun ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang Wo-o ya o, ya o ya Bongkar!!! Wo-o ya o, ya o ya Bongkar!!!” (Bongkar-Iwan Fals). Itulah sepenggal bait lirik lagu dari Bang Iwan Fals yang membakar semangat kaum reformis kala itu. Akankah reformasi jilid II akan berkumandang? . Setidaknya terdapat 23 problematika, peristiwa, fenomena, kasus atau kejadian yang cukup membuat siapapun prihatin yang terjadi di Indonesia saat ini. Berikut tulisan refleksi kemerdekaan Indonesia 63 tahun.


Bidang Kebudayaan :

1. Melunturnya kecintaan terhadap budaya asli. Anak-anak, generasi muda dan kaum dewasa, kini tidak lagi mempunyai rasa interest, berminat terhadap budaya asli Indonesia. Bahkan parahnya ada sebagian golongan yang apatis dan apriori terhadap budayanya sendiri.

2. Makin sukanya masyarakat mengadopsi dan bangga terhadap budaya asing. Mereka lebih gengsi berperilaku seperti orang barat dengan keseniannya juga, serta meletakkan posisi budaya bangsa sebagai budaya yang marginal atau kelas rendahan.

Bidang Sosial-Ekonomi :

3. Melonjaknya jumlah pelacur baru. Salah satu faktor penyebab utama orang terjun ke lingkaran bisnis lendir ini adalah karena himpitan ekonomi, tepatnya kemiskinan. Rendahnya skill, wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan lugunya mindset, visi hidup warga pinggiran (termasuk orang desa pelosok), menjadikan mereka mudah terjerumus atau menjerumuskan diri didunia hitam.

4. Membludaknya jumlah TKI. Ironi ganda menyergap dari fenomena ini. Selain bisa dikatakan sebagai ironi sempitnya lapangan kerja di Indonesia, juga ironi atas melunturnya nasionalisme serta kebanggaan terhadap kebanggaan berbangsa dan bernegara. Para TKI entah karena terpaksa atau tidak, telah menyetujui/menyepak ati atau sepaham, bahwa bekerja jadi TKI, akan memperoleh imbalan yang tinggi daripada
bekerja di tanah air. Hal ini juga telah dilestarikan oleh perilaku brainstorming (cuci otak) mindset yang salah yang terlanjur terbangun di otak dan pikiran mereka, oleh oknum pengerah TKI gelap dan calo-calo.

5. Meningkatknya jumlah OGB (Orang Gila Baru). Fenomena ini sangat miris dan ironis. Karena berarti benteng terakhir pertahanan rasionalitas/ logika berpikir sehat para OGB ini telah “jebol” oleh derasnya pressure dan deraan dari beragam problematika multidimensional, yang kompleks dan ruwet dari Kehidupan Sosial.

6. Makin membludaknya pengangguran. Fenomena ini cukup kompleks. Beberapa faktor/variabel penting yang menjadi penyebab adalah : rendahnya kualitas SDM, sempitnya lapangan kerja, rendahnya modal asing yang masuk guna memicu terciptanya lapangan kerja baru, serta kebijakan politik yang tidak kondusif serta tidak pro rakyat (grass root).

7. Makin banyak rakyat miskin. Salah satu dampak yangsangat ironis yaitu makin banyak orang makan nasi aking. Salah satu penyebab kemiskinan adalah lingkaran setan yang melingkupi yang disebut sebagai Kemiskinan Struktural.

Dimana pengertiannya, sistem sosial dan politik yang ada, tidak kondusif guna mengentaskan orang menuju kepada peningkatan status sosial-ekonomi. Bahkan sistem sosial yang kini telah melembaga, ternyata telah memasung, membelenggu, dan mengisolir segmen atau golongan miskin menjadi makin terpuruk nasibnya.

Kalangan marginal ini tidak bisa keluar dari komunitas, atau melakukan lompatan vertikal guna perbaikan taraf hidup, karena adanya tembok besar sistem/kebijakan politik dan ekonomi yang mengeliminir mereka. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

8. Makin banyak antrian mitan, bensin, dan sembako lainnya. Fenomena ini cukup krusial yang harus dicarikan solusinya. Sebab peristiwa ini rentan memicu munculnya revolusi, radikalisme, anarkhisme, vandalisme, brutalisme, jahiliyahisme, dan kriminalitas.

Pemandangan krisis ini seolah sebuah replay dari kondisi jaman transisi ke ORBA dulu. Kehidupan masyarakat yang sudah susah, makin tertindas. Satu hal penting adalah kita harus mewaspadai munculnya provokator yang bisa memperkeruh situasi. Inilah buah dari kebijakan yang tidak pro rakyat, dan hanya menguntungkan sebagian golongan saja.

9. Makin banyak kasus perceraian. Fenomena ini juga membuat hati miris. Karena ternyata tesis soal perbaikan/peningkat an kondisi ekonomi, yang seharusnya diimbangi dengan makin harmonisnya hubungan Rumah Tangga, berubah menjadi antitesa.

Karena ternyata peningkatan kemakmuran ekonomi itu, malah memicu munculnya beragam masalah baru yang makin multikompleks dan multidimensional. Salah satu contohnya adalah disharmonisasi di RT dan bahkan perceraian. Pentingnya kembali menegakkan norma-normasosial dan pranata sosial-agama, guna membentuk pribadi/individu- individu yang bermoral dan beretika.

10. Makin banyak anak putus sekolah, karena kemiskinan dan biaya pendidikan makin tinggi. Perlunya dilakukan koreksi kebijakan politik terkait dunia pendidikan, seperti alokasi dana untuk pendidikan sebesar 20%. Selain itu perlunya digencarkan kesadaran wajib belajar 9 tahun itu, dengan dukungan semua elemen masyarakat.

11. Makin banyak penguasaan aset negara oleh asing. Salah satunya yaitu saham-saham di operator seluler yang dikuasai asing. Hal ini menjadi preseden buruk bagi ketahanan nasional, karena sarana telekomunikasi dianggap cukup vital bagi pertahanan suatu negara. Bagaimana jadinya jika pihak asing menguasai sarana komunikasi sebuah negara?

12. Makin jauhnya gap /jurang kaya-miskin. Disinyalir makin sedikit orang yang berusaha secara lurus, jujur, dan normatif guna meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Karena makin tipis dan lunturnya moral dan etika individual, serta keropos dan rentannya pranata hukum atas praktik suap dan sogok-menyogok bagi terdakwa yang ingin bebas dari jeratan hukum.

Karena itulah sikap individualistik dan egoisme menjangkiti masyarakat, sehingga terbangun mindset jika kekayaan, harta, dan kehormatan yang diraih adalah hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan Allah SWT dan orang lain. Karenanya golongan tersebut menjadi bakhil, kikir dan pelit untuk berbagi.

13. Makin melunturnya etika/norma relasi sosial terkait status sosial. Seorang anak sudah tidak lagi menghormati orang tua, kakak, guru dan lain-lain. Bahkan berani /nekat membunuh jika tidak dituruti keinginannya. Batasan status dan peran sosial semakin kabur. Lemahnya pranata dan sanksi sosial, dianggap sebagai pemicu utama munculnya fenomena ini.

Selain itu makin langkanya sosok orang yang bisa dijadikan panutan, tauladan, di masyarakat. Sayangnya hal ini diperancu dengan tindakan amoral dan kriminal dari orang yang seharusnya menjadi panutan tersebut. Banyaknya perilaku amoral dan kriminil tersebut, memunculkan stigma negatif yang berdampak pada merebaknya tindakan imitatif/meniru perilaku buruk tersebut.

14. Makin banyaknya angkatan kerja terdidik yang menganggur, karena menyempitnya lapangan kerja. Lahirnya golongan yang satu ini sebenarnya cukup ironis dan berbahaya. Pasalnya, jika norma agama dan kesadaran religiositas tipis, maka rentan berbuat melanggar pranata hukum. Fenomena cyber crime, hacker situs dan rekening bank atau misalnya. Dampak dari kejahatan yang dilakukan oleh golongan intelek-kriminal ini sangat luas, laten, namun fatal.

Bidang Hukum dan HAM

15. Makin banyak pelaku kriminalitas (jumlah dan kualitas). Belum lagi usia pelaku makin dini. Perlunya dibuatkan sebuah pranata hukum yang lebih kompleks, inovatif dan fleksibel terhadap arus modernisasi. Terutama soal sanksi yang diberikan untuk para terdakwa sebuah perilaku kriminal yang kini usianya makin muda. Hendaknya sebuah hukuman yang diberikan memberikan efek jera, dan edukatif terhadap terdakwa.

16. Makin banyak kasus gagal panen, karena kerusakan ekologi akibat ulah manusia. Contohnya adalah global warming dan salah satu penyebab adalah pembalakan liar dalam skala besar-besaran. Harusnya aparat hukum memberikan sanksi yang tegas kepada para terdakwa tanpa pandang bulu, atau tebang pilih. Perlunya dilakukan upaya reformasi dan perombakan pada pranata hukum baik sistem maupun aparatnya secara menyeluruh dari atas sampai bawah, dari pusat sampai pelosok daerah.

Bidang Agama, Psikologi dan Metafisika

17. Makin banyak orang murtad. Pengertian murtad disini bukan hanya terkait agama, namun juga termasuk perilaku menyimpang, melanggar dan menyalahi beragam aturan pada sebuah institusi yang dilakukan oleh seseorang,individu atau kolektif (berjamaah). Semisal, seorang penegak hukum yang terlibat suap, maka bisa dikatakan ia telah murtad dari aturan institusi tempat dia bekerja, maupun murtad dari ajaran agama yang dianut.

18. Muncul banyak penyakit baru. Termasuk penyakit bernuansa misterius. Terbukti jika rasio, akal, logika dan ilmu kedokteran tidak sanggup mencarikan solusi berbagai penyakit baru yang bermunculan yang makin multikompleks dan sulit dicari obatnya. Mulai penyakit yang sudah sering muncul hingga yang cukup aneh, kini merebak. Sebut saja, flu burung, Ichtyosis, AIDS dan Leptopirosis.

19. Maraknya kasus bunuh diri (suicide). Berarti makin rendahnya benteng/pegangan hidup. Anomali, meaningless, hopeless menjangkiti pelaku. Pelaku juga makin dini usianya. Tindakan ini merupakan puncak dari kebuntuan jalan hidup seseorang dan potret ironi kegagalan sistem sosial-politik- ekonomi suatu negara.

Hal ini diperparah dengan ekspos besar-besaran dari beragam media cetak, elektronik, dan online. Media memang tidak sepenuhnya salah, karena berlaku prinsip Bad News is Good News. Atau berlaku juga hukum ekonomi, jika media TV kini makin komersil dan
industrialistik. Namun setidaknya media juga menyajikan pemberitaan yang disertai dengan pesan moral (agama) sebagai penyeimbang/ balancing news yang disuguhkan.

20. Makin banyak Dajjal berkeliaran dan menyebarluaskan fitnah, kebencian, dan permusuhan. Pengertian Dajjal, bukan hanya secara fisik seperti yang digambarkan di Al-quran atau kitab agama lain. Namun Dajjal ini bisa dipahami sebagai sebuah paham, aliran atau gerakan yang bersifat syetaniyah, menyesatkan dan destruktif.

Politik dan ketatanegaraan

21. Makin banyak perilaku korupsi oleh elit politik, legislatif dan yudikatif. Kini makin marak fenomena : Koyok Kere Munggah Bale. Fenomena ini merupakan buah dan lanjutan dari euforia, sejak tercetus reformasi tahun 1998 lalu. Dimana kini makin banyak orang kecil--yang maaf-- kurang berpendidikan, kurang religius, yang kini duduk manis menjadi elit politik, akibat rejeki atau buah dari reformasi. Karena itu tak layal, perilaku mereka seolah lupa akan asalnya, ibarat Kacang Lali Karo Lanjaran. Dulunya hidupnya susah, kini sudah jadi legislatif, malah mengkorupsi dana untuk rakyat.

22. Makin rendahnya keberpihakan elit politik, birokrat, legislatif terhadap pembuatan kebijakan yang pro rakyat. Termasuk rendahnya sense of crisis mereka terhadap penderitaan rakyat. Berlaku joke, jika dulu, sebelum dapat kedudukan, rajin melafalkan/menjalankan amalan membaca surat Kursi, namun setelah kedudukan
(kursi) jabatan diraih, lupa dengan surat Kursy-nya. Artinya norma religius kini makin luntur.

Bahkan dalam pikiran/otak dan hati mereka seolah berkata, jika semua atau segala sesuatu yang telah diraih, adalah merupakan hasil kerjanya sendiri, tanpa bantuan Allah SWT dan orang lain. Karenanya seseorang menjadi makin pelit dan bakhil, tidak peka terhadap situasi atau krisis yang terjadi di sekitarnya.

23. Makin banyaknya anarkhisme. Kasus ini bisa terjadi secara alamiah, maupun rekayasa. Yang alamiah terjadi akibat kulminasi kekecewaan terhadap struktur sosial dan pemerintahan yang tidak berpihak kepada mereka. Tindakan ini merupakan refleksi paling destruktif akibat deadlock, karena tidak menemukan solusi yang tepat.

* Jurnalis dan Pengamat Sosial